Pameran “Exceptional Person” Wayan Redika, Bentara Budaya Bali


Merefleksikan capaian terkininya, perupa Wayan Redika menggelar pameran bertajuk “Exceptional Person”, menampilkan 20 karya seni lukis dan drawing seri potret, instalasi, serta sejumlah puisi yang dicetak secara khusus di atas tembaga.

Pameran tunggal ini menghadirkan sosok tokoh-tokoh nasional dan internasional dalam beragam ekspresi rupa, bersifat naratif atau simbolis. Tautan antara riwayat dan jasa para tokoh ini, berikut kekuatan visual Redika, diharapkan memberikan refleksi kepada pengunjung perihal idealisme mereka dalam memperjuangkan keadilan, humanisme, dan perdamaian melalui prinsip-prinsip kebenaran yang bersifat universal. Selain itu, pameran inipun bertujuan untuk menggugah kesadaran publik, betapa selama ini kita sering abai pada buah cipta para tokoh yang secara nyata mewarnai perkembangan kebudayaan umat manusia. Dengan demikian, yang diperjuangkan Redika bukanlah semata “potret sosok”, melainkan mengeksplorasi lebih dalam gagasan dan dunia batin sang tokoh.

Pembukaan pameran ini akan ditandai pertunjukkan seni oleh Cok Sawitri yang berkolaborasi dengan koreografer Bulan Trisna Djelantik. Selain itu akan digelar pula workshop drawing serta diskusi seni rupa bertajuk “Rupa dan Kata” bersama pembicara kritikus Prof. DR. Nyoman Darma Putra M.Litt. dan kurator “Exceptional Person”, Wayan Seri Yoga Parta.

Wayan Redika, lahir di Karangasem tahun 1961, mengikuti berbagai pameran tingkat nasional maupun internasional, antara lain : Pameran bersama di Hilton International Hotel, Surabaya (1998), Pameran tunggal di Ganesha Gallery, Four Seasons Resort (2000), Pameran bersama di Bentara Budaya – Jakarta (2001), Pameran Drawing, Agung Rai Museun Of Arts (ARMA) Ubud (2004), Bali-Jeju, Jeju-Do Culture Building, Jeju South Korea (2005), Beijing Art Fair, Beijing, China (2006), Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas (2008 & 2012), Sudakara Art Journey, Sudakara Art Space, Sanur (2012), Pameran Slenco HUT ke – 30th Bentara Budaya di Bentara Budaya Jakarta (2012) dan lain-lain.

Mengenai Performance Pembuka
Cok Sawitri merilis :

CATATAN PENTAS BLACKBOX DALAM EXCEPTIONAL PERSON
(dipertontonkan tanggal 28 februari 2013)

Ketika melewati 50 pertanyaan masuk dalam inbox saya mengenai pentas Black Box dalam Exceptional Person (Pameran Tunggal Wayan Redika), maka saya harus bercerita, bukan menjawab. Bahwa hampir semua kini terpukau dalam percepatan arus informasi; bahasa kerennya ‘jejalan’ informasi; itu bisa berupa apa saja, didengar dengan isi apa saja. Jika masih berkutat pada teori komunikasi maka ada pemberi pesan, pesan itu dan penerima pesan; dan itu terjadi secara terus menerus; dengan kemajuan teknologi maka terjadi keterpukauan atau pemilahan; ada kondisi dimana ‘ ekstrim obyektifitas’ sebaliknya juga ada ‘ esktrim subyektivitas’; yang tersisa dalam beberapa detik dalam ingatan itu adalah ‘kecampurbauran’ yang kadang kita pikir itu ingatan terjernih dan terdekat serta melekat; tetapi kejernihan itu juga mengalami keserentakan penyerapan dengan berbagai prose’s aktivitas keseharian; hp berbunyi, televisi menyala, ipad….semua fasilitas komunikasi itu memberi ruang paling sempit untuk terjadinya pemilahan.
Berangkat dari cara pikir saya yang sederhana saja soal jejalan informasi; maka sesungguhnya itulah panggung masa kini. Dalam tradisi pemanggungan sejak lama, saya selalu berteka-teki pada batas tertentu seharusnya disharmoni itu harmoni; dalam pelajaran fisika saat saya masih sekolah menengah pertama saya selalu terkesan dengan apa yang disebut anomali. Dan panggung yang simple adalah panggung yang mendatar, dengan ukuran lebar tertentu. Dan diduga aturannya kapan in-outnya orang-orang yang akan bermain di atas panggung. Tata krama pemanggungan ini pun kemudian menjadi ‘daya cekam’ dan kemudian zaman visual memberi gambaran berbeda mengenai bahwa ada ‘bentuk pemanggungan’ yang semakin mencekam. Dan kita tahu bagaimana dashyatnya pengembangan tata lampu, era digitilasasi apa saja, kumputer itu menjadi ‘mahluk’ tersendiri yang tiba-tiba sebanding dengan udara, hampir menafasi seluruh rangkaian keseharian. Tetapi sebaliknya sinar matahari, sinar bulan putaran masih dalam detak-detak yang sama. Pelajaran sekolah dasar memberi pengetahuan mengenai apa fungsi cahaya itu, dan ketika belajar memotret kita akan tahu bahwa ada yang disebut fiil light, key light serta backlight, dan itu wajib hukumnya ketika berproses ke perekaman cahaya; dipahami kemudian pengakalan dan peredaman kepada cahaya dengan papan reflector.
Tetapi dari semua yang saya pikirkan itu, kita itu dimana sebenarnya, apakah ketika saya dipotret, memotret atau menonton peristiwa orang saling potret…dst hingga kemudian saya ingin memindahkan sebagian kecil saja dari peristiwa besar yang terjadi disetiap detik dalam sebuah kotak. Bahwa jejalan informasi itu akan menarik orang memasuki ruang menjadi bagian pertunjukan, menjadi bayangan, penutup bayangan, menjadi berjejalan visual itu; lalu kita tempatkan sebuah sisi dengan kesadaran agung mengenai komposisi pertunjukan; maka pola menonton itu akan secara naluriah menarik yang terbiasa dengan keterpukauan, sebaliknya, sisi lain menjadi lebih lengang; ada ruang kesegaran dimana lampu, pemandangan sekitarnya lebih terang; itu saya sebut sudut ‘kejernihan’.
Jika saya mengambil judul blackbox, memang akan menarik perhatian orang dengan pertanyaan, apakah itu blackbox sebagai kelengkapan pesawat terbang? Atau black box sebagai satu bentuk bangunan teater masa kini itu?. Pada blacbox pesawat, ketika pesawat jatuh; maka rekaman suara dan signal yang akhirnya terbaca sebagai isyarat adanya sebab-sebab, sedangkan pada panggung blackbox, saya justru mengambil apa yang disebut ‘peredaman’.
Meski fasilitas yang saya miliki terbatas; mengenai warna lampu, intensitas lampu, bahkan lumen projector serta tempat pertunjukan yang bukan untuk pertunjukan, itu bentara budaya bali jelas bangunan untuk pameran, style wantilan yang ditemboki. Maka ketika Wayan Redika meminta saya untuk mengisi acara pembukaannya; saya memberanikan diri untuk ‘menyela’ kerapiannya’ wayan redika dengan menabrakan antara surealis dan realis serta habluran ketika keserentakan itu terjadi; hanya satu yang saya jaga, yakni bagaimana pesan tematik pameran itu terjaga dan menyatu dengan prose’s kreativitas saya. Dan pilihan pemain silat perisai diri dari UNHI misalnya adalah karena sejak awal saya menginginkan semua pemeran hadir dalam gantungan sling dan berpentas dalam panggung kemiringan yang mendekati derajad tertentu sehingga menjadi ‘ kontroversi’ cahaya, bayangan…dst, namun karena kondisi tempat tidak memadai maka saya menggunakan down stage dengan resiko interaktiv penonton tidak tampil optimal sebagai pertunjukan sendiri. Dan bagaimana tematik instalatif karya Wayan Redika itu dialirkan menjadi ‘kesantunan konteks’ mengenai raga maya; mengenai sekah-sekah; miniatur abu-abu para koruptor yang siap dilarung itu didramasirkan ternyata; tetap dibutuhkan pernyataan; itu sesungguhnya terpaksa saya lakukan; dipenutup pemanggungan. Menjelaskan; betapa hebatnya manusia setiap era melahirkan orang-orang hebat, penuh pengorbanan dan mahakarya, namun sebaliknya betapa menyayat bahwa penjamuran kemanusiaan itu terjadi sebanding dengan keluarbiasaan daya hidup: itulah korupsi!
Begitulah cerita saya mengenai Black Box dalam exceptional person, yang berlangsung pada tanggal 28 februari 2013 di Bentara Budaya Bali. Apapun itu hasilnya dan apresiasinya, atau ‘rasa’ dan tak ;berasa bahkan kebingungan saat ada dalam black box; itulah sesungguhnya pertunjukan itu; anda, saya, kita semua saat itu sudah menjadi saling menonton dan ditontoni dan memasuki jejalan keterpukauan yang hablur pada detik-detik dimana ambangan tradisi kebiasaan menonton dengan kenyataan bahwa itu tak dipenuhi; sebaliknya tetap juga akan terjadi tarikan-tarikan psikis yang membuat sekian banyak orang mencoba menangklukan angle dan focus dengan kameranya; untuk memadatnya sebagai kembali pendauran jejalan informasi. Sejenak lupa; semua bahan, semua yang diserentakan adalah pengulangan-pengulangan….dan anehnya alur itu kemudian menjadi seolah-olah keasingan, hanya seolah-olah. Padahal; setiap diri, saya kadang tersenyum: seperti kotak yang saya bayangan: penuh dengan jejalan, bauran….dan sudut kejernihan itu pun tetap: biar keren: hablur!
Demikian cerita saya.

Text Source :
– Bentara Budaya Bali, http://goo.gl/Yd4IB
– Rilis Cok Sawitri, Facebook http://goo.gl/OF5HZ

Leave a comment